law Enforcement Berstigmakan Extra Judicial Killing???

0
509

oleh, I Putu Gede Indra Wismaya, S.H Mahasiswa Magister kenotariatan  Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang

penasatu.com, Malang – Penggunaan sejata api oleh para penegak hukum dalam hal ini adalah pihak kepolisan merupakan bentuk dari upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh angota Polri ketika ia tidak memiliki alernatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut atau ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota polri atau masyrakat.

Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang tertulis di dalam KUHP Pasal 49 ayat 1 dan 2 terkait Noodweer (pembelaan darurat) dan Noodweer exces (pembelaan darurat melampui batas).

Extra-judicial killing atau pembunuhan diluar putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang–orang yang diduga terlibat kejahatan merupakan sebuah pelanggaran hukum acara pidana yang serius. Orang–orang yang diduga terlibat kejahatan mempunyai hak untuk dibawa ke persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil (fair trial) guna membuktikan bahwa apakah tuduhan yang disampaikan oleh Negara adalah benar. Hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka “dihilangkan nyawanya“ sebelum proses peradilan dapat dimulai. Penuntutan terhadap perkara tersebut akan otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia.

Upaya penembakan yang ditujukan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan memang sebenarnya diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 (Perkap 1/2009) secara tegas dan rinci telah menjabarkan dalam situasi seperti apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip-prinsip dasar apa saja yang harus selalu dipegang teguh oleh aparat kepolisian dalam melakukan upaya penembakan tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009, sebelum memutuskan untuk melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu tindakan seperti perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia seperti gas air mata atau semprotan cabai. Setelah segenap upaya tersebut dilakukan, aparat kepolisian baru diperbolehkan menggunakan senjata api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka. Itu pun hanya apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Dengan kata lain, penggunaan senjata api harus merupakan upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah melumpuhkan bukan mematikan. Upaya penembakan dengan senjata api hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut atau ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Namun tindakan pembunuhan di luar proses hukum ini dianggap melanggar HAM karena memutus hak seseorang untuk mendapat proses hukum secara adil. “Hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka dihilangkan nyawanya sebelum proses peradilan dimulai. Penuntutan perkara ini otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia,” kata dia.

Menurutnya, tindakan extra judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan dilarang keras oleh ketentuan HAM internasional dan peraturan perundang undangan nasional. Larangan tersebut dimuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi/disahkan melalui UU No.12 Tahun 2005,

Pasal 6 UU 12/2005 menyebutkan setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.”

Extra judicial killing pun bentuk merampas hak hidup seseorang sebagai HAM paling utama. Hak hidup setiap orang dijamin oleh UUD Tahun 1945 dan merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Pasal 28A UUD Tahun 1945 menyebutkan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28B ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dia menerangkan istilah extra judicial killing terdapat pula dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang merujuk pada pembunuhan yang dilakukan secara sewenang-wenang; tidak ada alasan pembenar untuk itu; dan tidak berdasar hukum yang sah atau pembunuhan yang dilakukan di luar putusan pengadilan.

Penulis sependapat dengan pandangan Pompe, beliau menyatakan “jika anacaman dengan pistol, dengan menembak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati”. Hal inilah yang harus dingat oleh aparat penegak hukum dalam hal ini adalah aparat kepolisian.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here