Singkirkan Fanatik Buta Dalam Berpolitik!

0
546

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Membaca Politik Dari Titik Nol”

penasatu.com-Manggarai Barat.NTT- POLITIK di negeri kita Indonesia ini biasanya terlihat dan selalu ramai, terutama pada setiap momentum pesta politik: Pemilu. Baik pileg maupun pilpres-nya, termasuk pilkada. Khusus pada momentum pilpres, dinamika politik biasanya dari hari ke harinya terasa ramai dan menghangat. Bukan saja pada level elite politik tapi juga pada level alit atau massa pendukung juga simpatisan para pasangan calon.

Kita tentu masih merasakan dinamika politik pada pilpres 2014 dan 2019 lalu. Setiap elemen berhari-hari terlihat secara terang benderang menyatakan dukungan kepada pasangan calon tertentu. Sahut menyahut, sindir menyindir dan counter opini atau isu pun saban hari mengisi berbagai media massa. Bukan saja pada layar kaca berbagai stasiun TV tapi juga pada halaman utama berbagai surat kabar. Media online dan media sosial yang belakangan menjamur pun turut dijadikan medan berkompetisi, sosialisasi dan publikasi.

Kini, dinamika politik semakin mendingin, walau masih ada saja percikan yang menghangat sebagai dampak ikutan dari perbedaan pilihan politik pada pilpres silam. Pasangan yang terpilih pun sudah dilantik dan sedang dan berjanji akan terus memenuhi janji politiknya. Tentu pemilih hanya berharap agar setiap janji ditepati, sehingga kampanye tidak sekadar umbar basa-basi. Sebab kalau sekadar umbar janji yang bernyawa basa-basi, maka itu sama saja sebuah negara tanpa pemimpin. Negara pun seperti kapal yang kehilangan nahkoda. Berjalan tanpa kejelasan tujuan dan arah.

Faktnya, Prabowo Subiyanto (Prabowo) kini sudah masuk ke istana, menjadi Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju. Kompetisi sengit pada pilpres lalu seperti hilang seketika. Walau begitu, berbagai pertanyaan dan dugaan muncul begitu rupa. Keraguan tentang konsistensi pun menjadi bagian dari obrolan para pendukung di berbagai momentum. Bahkan ada yang bertanya: “Prabowo mau ke mana?”, “Prabowo membela siapa?”, dan berbagai pertanyaan yang substansinya adalah menggugat langkah politik Prabowo pasca pilpres.

Berikutnya, baru saja kita saksikan Sandiaga Salahudin Uno (Sandi), pendamping Prabowo pada pilpres 2019 masuk ke istana, tepatnya dipilih sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Berbagai dukungan atas pilihan Sandi pun muncul. Ucapan selamat disampaikan oleh begitu babyak orang. Dengan harapan ini menjadi penguat terjadinya rekonsiliasi politik pasca pilpres yang belakangan masih saja terasa dampaknya. Sandi dianggap sebagai pencetus titik temu kergaman pilihan politik, menuju kesatuan tujuan: kepentingan bangsa dan negara.

Namun suara lain pun muncul seketika. Aroma antipati juga terasa di sebagian elemen. Sandi dinilai tak mendengar nuraninya. Bahkan ia dinilai tak memahami suara hati basis massa juga pemilihnya. Sandi dicap sebagai orang yang haus jabatan. Bagaimana tidak, dinamika pilpres lalu begitu sengit. Basis massa masing-masing pendukung pun kerap berbeda pendapat di berbagai forum bahkan di dunia maya. Saling serang isu pun terjadi berkali-kali. Seakan-akan sedang mengobarkan semangat: menang atau kalah, posisi atau oposisi. Hanya itu.

Ya kini, Prabowo-Sandi sudah masuk istana. Keduanya mendapat jabatan startegis pada kabinet Joko Widodo-Maruf Amin. “Pada saat Prabowo-Sandi masuk istana, sebagian pendukungnya malah masuk penjara”. Begitu potongan ungkapan seorang teman pada sebuah status akun media sosialnya. Status pendek namun menyimpan banyak pesan. Dipenjara, judulnya memang penegakan hukum, namun bias kepentingan politik begitu terasa. “Begitulah politik di negeri yang kaya potensi alam ini. Seru juga bikin malu. Mesti dilakoni dan dinikmati untung atau ruginya. Itu sudah pilihan,” lanjut teman yang sudah lama aktif di dunia politik.

Ini pelajaran berharga bagi siapapun seperti apa dan bagaimana politik itu diaksikan dan mesti diaksikan ke depan, termasuk pada lakon dukung mendukung pada momentum politik. Dukung mendukung memang hak setiap orang, namun pada saat yang sama mesti banyak belajar termasuk belajar menemukan pelajaran politik. Selebihnya, politik mesti dilakoni secara dinamis, sebab politik itu lentur. Tak perlu memamerkan dukungan secara fanatis, apalagi fanatis buta, jangan. Berpolitiklah sewajarnya saja, tak perlu menegangkan urat nadi.

Apapun itu, mengenai hal ini saya menjadi teringat dengan ungkapan seorang teman, “Watak manusia bila mendapatkan jabatan itu kurang-lebih sama: menepikan basis massa.” Setiap suara pun mungkin didengar, namun sekadar sesuai kebutuhan. Bila kebutuhan selesai, maka selesai pula huhungan politiknya. Kondisi demikian meniscayakan siapapun untuk melakoni politik secara telaten dan cantik. Sehingga tak mudah terjebak pada permainan elite. Dan ini yang penting: tak ada lagi yang merasa disakiti gegara pilihan politik elite berbeda jalan setelah pesta politik berlangsung.

Saya tidak sedang mengajak menghilangkan rasa percaya kepada siapapun, tidak juga mengajak siapapun untuk melupakan basis massa; tapi sekadar mengingatkan agar siapapun tak terlalu lugu dalam berpolitik. Tenaga, pikiran dan waktu jangan terlalu diporsir demi sang tokoh atau tujuan politik tertentu. Bahkan merusak hubungan baik dengan sesama tetangga dan warga sekitar, itu tak perlu. Sebab nanti sakitnya di mana-mana dan ke mana-mana. Kecuali bila masih nyaman menjadi massa yang terlupakan dan massa yang dipermainkan, atau menjadi elite yang bermental jongos, silahkan saja!

Ke depan, sebagai pemilih dalam berbagai momentum pesta politik, kita tak perlu menjadi pemilih yang fanatis. Jadilah pemilih yang serasional mungkin. Tapi sebelum menjadi pemilih yang rasional, bila masuk dalam kategori basis massa maka jadilah basis massa yang rasional. Yaitu massa yang mendukung karena alasan rasional bukan terutama karena emosional. Kalah atau menang dalam berpolitik itu manusiawi saja. Namun melakoni politik tanpa fanatik buta adalah kebutuhan mendesak dan memang itu sebuah lakon yang membanggakan.

Lakon semacam itu semakin dibutuhkan terutama pada basis massa pemilih yang terjebak pada figur bukan pada isme dan konten sang figur. Isme adalah visi dan misi besar di balik keterlibatan dalam kompetisi. Konten adalah seluruh rangkaian langkah strategis kepemimpinan dan program unggulan yang menjadi prioritas manakala memimpin kelak. Dampak positifnya memang ada, yaitu pembelaan pada pesta politik, bahkan berupaya memenangkannya. Namun hal semacam ini berdampak buruk pula yaitu adanya pembelaan yang melampaui batas dan biasanya tak selalu siap menerima kekalahan.

Di atas segalanya, politik mestinya menjadi jalan untuk memudahkan tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara yang berdampak baik bagi tujuan individu. Bila melenceng maka yang terjadi adalah kehancuran tatanan kebangsaan hingga kenegaraan. Mereka yang mendapat jatah atau mandat untuk mengurusi urusan publik mesti menjaga orsinalitas tujuan itu, sehingga mandat tidak berubah menjadi biang bencana. Kalau tidak, pemimpin ingkar janji dan basis massa yang terjebak pada politik fanatik buta bakal menjadi pemantik yang apik bagi robohnya negara kesatuan yang sama-sama kita banggakan. Semoga saja hal semacam itu bisa kita hindari!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here