Penasatu.com, Balikpapan – Mengkhawatirkan. Ya, kata ini yang pantas untuk saat ini terkait meningkatnya angka pengidap HIV di Balikpapan dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2005 hingga Mei 2019 sebanyak 2.308 orang dan di tahun ini saja sudah 19 orang yang meninggal.
Hal ini tentu akibat seks bebas yang terjadi di Balikpapan. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan tingginya seks bebas tersebut, salah satunya ialah penutupan lokalisasi di Balikpapan. Ya, salah seorang pemerhati wanita sekaligus Koordinator Save Our Sister (SOS Kaltim), Mei Christhy mengatakan bahwa akibat penutupan lokalisasi tersebut para pekerjanya memilih berjualan bebas menyebar di beberapa tempat sehingga tidak terkontrol. Berbeda ketika mereka masih berada di lokalisasi yang masih terorganisir.
“Penutupan lokalisasi itu punya pengaruh besar karena akhirnya petugas kesehatan kesulitan menscreening PSK yang terjangkit. Kalau dulu kan setau saya petugas kesehatan rutin adakan tes kesehatan penghuni lokalisasi. Jelas itu meminimalisir ODHA (Orang Dalam HIV-AIDS), kalau sekarang lokalisasi bubar PSK berhamburan dimana-mana,” terang Mei.
Sebab tidak terorganisirnya para PSK tersebut membuat sulitnya mengkontrol kondisi kesehatan mereka. Belum lagi kurangnya kesadaran dari mereka untuk mengecek kesehatannya sehingga angka pengidap HIV pun meningkat.
“Dampaknya 2 kali lipat lebih besar loh. Selain faktor kesehatan, PSK yang nyebar kemana-mana ini udah nggak pilih-pilih lagi cari konsumen. Mau anak sekolah juga ayo. Who knows?” ungkapnya.
Sehingga menurut Mei pemerintah harus memikirkan hal ini dengan matang dan mencarikan solusinya. Seperti contoh solusi membuka kembali lokalisasi dengan cara terorganisir. Sebab tanpa di pungkiri meskipun lokalisasi sudah tutup namun aktivitas seks pun tetap ada, alhasil berdampak pada meningkatnya HIV-Aids.
“Hanya saja penempatannya bagaimana?? Jika lokalisasi aktif kembali , itu sama saja menekan pertumbuhan pesat korban ODHA yang sekarang bukan dari jarum suntik tapi karena seks bebas. Sebab menurut saya itu juga punya pengaruh besar. Tidak ada dalam sejarah sebuah kota bersih dari pelacuran,” jelasnya.
Selain itu persoalan kondom menurut Mei dianggap masyarakat adalah hal tabu. Dimana tidak lakunya kondom lantaran masyarakat masih malu-malu untuk membelinya, padahal kondom sangat efektif menekan penyebaran HIV-Aids.
“Kenapa kondom jadi nggak laku ? Masyarakat kita masih malu-maly bahas edukasi seks. Di luar negeri anak usia dini udah diberi pengetahuan soal seks edukasi . Bukan berarti mendukung seks bebas loh. Tapi ini penting mas, kondom itu satu-satunya alat penting untuk terhindar dari penyakit kelamin apalagi HIV AIDS,” tuturnya.
Sehingga pentingnya melakukan sosialisasi dan kampanyekan kondom sampai ke tingkat sekolah-sekolah. Mei mengatakan jangan pernah malu dan jangan menganggap kondom sebagai hal tabu di masyarakat. Meskipun hal ini tentu akan mendapatkan penolakan di masyarakat, namun mau bagaimana lagi.
“Penolakan dari masyarakat pasti ada. Ya mau kota bersih dari pelacuran? Ya jangan ada laki-laki di kota ini. Karena seperti yang aku sampaikan tadi dalam kasus prostitusi central of main itu dua pihak laki dan perempuan. 1000 pelacur di kota ini nggak akan eksis kalo nggak ada laki-laki yang beli jasanya,” pungkasnya. (*/are)