Oleh : Andi Ar Evrai
Penasatu.com, Balikpapan -Sebenarnya saya sudah berulang kali datang ke Makassar, tetapi belum sekali pun berkunjung ke pusaran ulama kharismatik Makassar yaitu Syekh Yusuf, karena itulah saat saya ke Makassar baru-baru ini, saya pun menyempatkan untuk berkunjung ke pusara ulama yang sangat dikagumi oleh rakyat Afrika Selatan ini.
Maka tidak heran kalau Afrika Selatan memberikan gelar pahlawan kepada Syekh Yusuf Tajul Khalwati, pejuang asal Gowa, Sulawesi Selatan. Hal itu disampaikan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma saat bertemu Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu (8/3/2017).
Zuma mengatakan, gelar pahlawan diberikan untuk Syekh Yusuf karena ikut berjuang bersama masyarakat Afrika Selatan. Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela bahkan menyebut Syekh Yusuf sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik
Tak hanya di Afrika Selatan, pemerintah Indonesia di era Presiden Soeharto juga telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Syekh Yusuf pada Agustus 1995. Lalu, bagaimana kiprah dan perjuangan Syekh Yusuf hingga ia bisa sampai di Afrika Selatan?
Syekh Yusuf Tajul Khalwati atau biasa dikenal dengan sebutan Syekh Yusuf Almaqassari Al-Bantani lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Dia merupakan anak dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, penguasa Kerajaan Gowa pertama yang Muslim.
Sebelum menapaki jejaknya di Afrika, Syekh Yusuf dibuang ke Sri Lanka (Sailon)oleh pemerintah Belanda. Dia diasingkan dari bumi Nusantara karena perlawanannya yang gigih terhadap Belanda saat berada di Gowa dan Banten. Dari sinilah awal mulanya, tepat pada tanggal 14 Desember 1683, Syekh Yusuf dan pengikutnya ditangkap Belanda dan kemudian dikirim ke Batavia sebagai tahanan. Alasannya tak lain karena isu Syekh Yusuf membantu raja Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), menghadapi Belanda. Saat itu, perang memang sedang berkecamuk. VOC ingin menguasai Banten dan memecah belahnya. Konon, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji yang merupakan anak Sultan Ageng sendiri, disebut bersekutu dengan Belanda untuk dapat merebut tahta ayahnya
Dalam perang ini, tentara Sultan Haji yang dibantu VOC Belanda kemudian dapat merebut tahta bapaknya. Lambat laun, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian ditangkap dan meninggal dalam penjara di Batavia. Saat peperangan di Banten, Syekh Yusuf berperan aktif bersama santri-santrinya membantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sebelumnya, selama tinggal di Banten, Syekh Yusuf diceritakan memperdalam ilmu agama dengan berguru kepada ulama-ulama terkenal di kesultanan Banten.
Di sana, Yusuf menjalin persahabatan yang erat dengan anak-anak Abu al-Ma’ali Ahmad, terutama dengan putra mahkota yakni Abu al-Fath Abdulfattah atau Pangeran Surya.
Pangeran Surya inilah yang pada 1651 naik takhta dengan gelar nama Sultan Ageng Tirtayasa. Muhammad Yusuf alias Syekh Yusuf Al-Makasari nantinya diangkat sebagai mufti kerajaan sekaligus penasihat Tirtayasa.
Selanjutnya, saat ditahan di Batavia. Belanda tampaknya masih mencemaskan pengaruh Yusuf meski pengikutnya sudah dipulangkan ke Sulawesi Selatan. Maka, diputuskan bahwa Syekh Yusuf beserta istri dan anaknya akan diasingkan ke Ceylon (Sailon) atau Sri Lanka.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda pada 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Sri Lanka pada September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki ratusan murid, yang umumnya berasal dari India Selatan.
Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk yang berguru pada Syekh Yusuf.
Lama di Sailon, terdengar kabar sampai ke Gowa kalau Syekh Yusuf sedang ditawan. Maka para raja berpikir untuk menebus Syekh Yusuf dan mengembalikan ia ke tanah kelahirannya. Pada 11 Mei 1689, raja Gowa Sultan Abdul Djalil, Daeng Talele (permaisuri raja Bone, Arung Palakka), dan beberapa bangsawan Kerajaan Gowa, berangkat ke Fort Rotterdam. Seperti yang ditulis Mukhlis dan Edward Poelinggomang, Batara Gowa, Messianisme Dalam Gerakan Sosial di Tanah Makassar (hl.142). Tujuannya ke sana untuk menemui Ketua Perkumpulan Dagang Hindia Timur atau VOC, Willem Hartsink. Mereka datang dengan membawa uang sejumlah 2.000 ringgit (rijksdaalder) atau 5.000 gulden (mata uang Belanda). Kedatangan
rombongan raja Gowa tersebut untuk menghadap Ketua VOC dengan maksud untuk menyampaikan permohonan diperkenankan memulangkan kembali Syekh Yusuf.
Willem pun menyanggupi dan akan mengusahakan agar Syekh Yusuf bisa kembali, dengan berkomunikasi lebih intens dengan VOC di Batavia.
Sayangnya, saat Willem sudah meminta pada VOC di Batavia, permintaan itu ditolak karena status Syekh Yusuf yang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat gigih menentang VOC.
Melalui jemaah haji yang singgah di Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Kabar komunikasi Syekh Yusuf dengan para pengikutnya itu sampai ke telinga pemerintah Belanda. Oleh Belanda, dia akhirnya diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh ke Cape Town, Afrika Selatan, pada Juli 1693.
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah dan memiliki banyak pengikut. Dia bahkan ikut berjuang bersama warga Afrika melawan imperialisme bangsa Eropa di Afrika. Syekh Yusuf wafat pada 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Di Tanah Air, makam Syekh Yusuf terdapat di Banten, Madura dan Gowa. Konon menurut cerita, Syekh Yusuf memang meninggal dunia pada usia 73 tahun di Afrika Selatan.
Namun, atas permintaan Raja Gowa Abdul Jalil, kerangka jenazah ulama kebanggaan masyarakat Sulsel itu dipindahkan ke Gowa pada 1795. Di tempat ia dimakamkan, kini juga terdapat pusara kerabatnya dan bangsawan kerajaan Gowa.
Di kalangan masyarakat Muslim Afrika Selatan, Syekh Yusuf dianggap berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam. Tak hanya itu, dia juga dianggap sebagai pendiri komunitas Muslim dan budaya Melayu di Afrika Selatan. Sebagai bukti, terdapat perumahan yang diberi nama Kramat Makassar, yang berada tak jauh dari makam Syekh Yusuf. Lokasi itu dihuni sedikitnya 40 kepala keluarga. Uniknya, sebagian besar warga di sana mengaku memiliki nenek moyang dari Makassar.
Ratusan tahun telah berlalu. Kini, perkawinan campur antarsuku telah terjadi di Kampung Makassar. Dalam kehidupan berbagai suku masyarakat Afrika Selatan, bukan hanya masyarakat Muslim, terdapat pengaruh bahasa Indonesia ke dalam kosakata bahasa sehari-hari di kalangan warga Afrika Selatan. Seperti kata Lebaran, buka puasa, piring, terima kasih, dan sembahyang.
Saat saya menunaikan umrah beberapa tahun lalu, saya sempat bertemu dengan keturunan Syekh Yusuf yang berasal dari kampung Makassar di Afrika Selatan, penguasaan bahasa Indonesianya lumayan bagus dan mereka pun sangat rindu untuk datang ke Indonesia, tempat asal moyang mereka.
Saya tidak lama berada di pusara Syekh Yusuf ini, karena kondisi bangunan yang terlalu sempit membuat para peziarah tidak bisa berlama-lama berada di kawasan ini, sebenarnya kalau pemerintah daerah setempat mau memugar kawasan tersebut menjadi lebih luas dan pengaturannya lebih tertib, maka kawasan ini bisa menjadi kawasan wisata sejarah yang dikunjungai oleh ribuan orang setiap harinya.(*)
Editor: Pena1.