Oleh: I Putu Gede Indra Wismaya, S.H Founder of KLP Lawyers Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang
Balikpapan, penasatu.com – Restorative Justice Merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kodisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya itu sendiri.
Ada dua pengertian dari Restorative Justice yaitu secara konsep dan secara proses, pengertian secara konsep Restorative Justice adalah, pemulihan keadilan yang tidak menitik beratkan kepada penghukuman, kemudian pengertian Restorative Justice secara proses adalah penyelesaian perkara yang melibatkan pelaku dan korban. Secara legal formal Restorative Justice ini baru dikenal pada Undang-Undang Sistem Peradilan Anak.
Restorative Justice Tidak terlepas dari paradigma baru hukum pidana moderen di dunia, kita lihat hukum pidana yang kuno orientasi pada pembalasan, yang kita kenal dengan keadilan retributif , keadilan yang muncul sebagai atau alasan pembenar dilakukannya pemidanaan, orang yang melakukan kejahatan ia dijatuhi pidana jadi balas dendam atau yang disebut lex talionis (hukum balas dendam) lex talionis adalah asas bahwa orang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama.
Ada paradigma hukum pidana modern tidak lagi berorientasi pada pembalasan, tetapi berorientasi pada 3 keadilan , korektif, restoratif, rehabilitatif. Keadilan korektif menekankan pada pelaku, pelaku tindakannya harus koreksi diberi hukumanan, keadilan restoratif ini adalh milik korban (victim) mereka harus dipulihkan, keadilan rehabilitatif yang dipulih adalah keduanya pelaku dan korban , pelaku di rehabiliter dngan tujuan ketika ia kembali kemasyarakat ia tidak mengulangi perbuatanya, sedangkan bagi korban rehabilitasi sebagai bentuk pemenuhuan keadilan.
Konsep Restorative Justice adalah disiplin ilmu yang baru muncul 1977, konsep tersebut adalah kritik untuk hukum pidana yang dikemukakan oleh Albert Eglash, karena hukum pidana hanya melihat pada pelaku yang tidak melihat pada korbannya. Pelaksanaa Restoratif Justice tidak seragam diseluruh dunia, sedangkan di Indonesia baru ada pada UUSPA, dalam UUSPA kita mengenal Istilah Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara, Diversi dilakukan pada tingkat penyidikan penuntutan dan persidangan. Mengapa ini diperkanalkan dalam UUSPA, sebab ketika berbicara suatu kejahtan pelakunya adalah anak atau korbannya adalah anak , maka yang paling utama adalah demi kepentingan anak.
Ketika konsep Restoratif Justice pada tahun1977 itu lahir setelah lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1982 belanda mengubah kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada satu ketentuan dengan istilah Rechterlijk Pardon merukan bentuk dari modifikasi atas kepastian hukum yang bersifat kaku menuju kepastian hukum yang bersifat fleksibel, hal ini berangkat dari beberapa perkara yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik tindak pidana, namun perbuatanya tidak layak untuk dijatuhi pemidanaan.
Pemaafan hakim tidak terlepas dari konsep Restoratif Justice, ketika misalnya perbuatan pidana itu memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat atau korban ataupun pelaku menyesali perbuatannya, maka ada pemaafan hakim, pemaafan hakim itu sesorang tetap diyatakan bersalah tetapi tidak diikuti pemidanaan , ada beberapa contoh kasus di indonesia, mungkin kita bisa ingat nenek minah yang mencuri 3 buah kakau itu terjadi tarik menarik antara kepastian , keadilan dan kemanfaatan hukum, nenek mina tetap diproses, putusan pengadilan memutuskan nenek mina bersalah, tetapi dijatuhi hukuman percobaan, kalau dijatuhi hukuman percobaan artiya nenek minah tidak perlu menjalani pidana dan dapat diketahui bersama ketika nenek minah menjalani persidangan penuntut umum lah yang memfasilitasi memberikan ongkos nenek mina setiap harinya untuk menghadiri persidangan yang ia hadapi. Inilah tujuan dari nilai-nilai dalam hukum.
Dalam menjalankan penegakkan hukum yang berkeadilan baik terhadap pelaku dan korban, konsep Restoratif Justice ini juga terdapat Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, apabila RUUHP ini telah disahkan selanjutnya di imbangi dengan petunjuk teknis berupa PERKAP, PERJA dan PERMA. Polisi selaku penyidik, ia kan lebih konsen pada PERKAP, kemudian Jaksa berpegang pada PERJA dan hakim memandang PERMA sebagai kitab menjalankan dan mewujudkan Konsep Restoratif Justice. Kita harus merubah paradigma yang telah ada, hukum pidana tidak hanya untuk pelaku saja tetapi untuk memulihkan korbannya.*