Fery Adu mantan Ketua Kader Konservasi Taman Nasional Komodo….
Penulis : Alfonsius Andi
Penasatu.com, Manggarai Barat – NTT – Etika Ekologi merupakan sebuah pendekatan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan makluk, yang saling menopang hingga mempunyai arti yg sama.
Etika ekologi menempatkan makluk memiliki bawaan maka dengan demikian memiliki hak untuk dihargai, Hak hidup, dan hak berkembang.
Kepada Media Penasatu.com, Sabtu (22/08/2020), Fery Adu mantan Ketua Kader konservasi Taman Nasional Komodo menjelaskan, premisnya bahwa lingkungan moral harus melampaui species manusia dengan pengertian komunitas manusia yang lebih luas artinya komunitas yang menyertakan binatang, tumbuhan serta alam yang menekan.
lanjut Fery bahwa Manusia adalah bagian dari Alam dan berhak hidupkan makluk lain yang bisa dimanfaatkan oleh manusia.
Fery Adu menambahkan, melestarikan alam tetapi tidak dikuasai, tentang pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dan mengeritik sistem ekonomi dan politik lalu menyodorkan sistem alternatif (solusi) yaitu “mengambil” sambil “memelihara”.
Dengan demikian kebijakan cerrying capacity di zona wisata bahari maupun daratan kawasan konservasi merupakan keharusan sebagai pemenuhan upaya mengambil dan menjaga keberlansungan ekosistem dari tekanan “prilaku” industri pariwisata, terang Fery.
Sementara Etika Ekologi Dangkal Menurut Fery Adu, merupakan sebuah pendekatan terhadap lingkungan yg menekankan lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia saja. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme yang memiliki pandangan bahwa alam bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Tambahnya, tetapi secara umum bahwa, etika ekologi dangkal lebih menekankan tentang Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tanpa tanggung jawab manusia. Dan Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinanya, serta kebijakan manajemen sumberdaya alamnya untuk kepentingan manusia saja menunjukkan norma utama yaitu untung rugi.
Menurut Fery, kita bisa sama-sama dinamika soal penolakan pembangunan sarana pariwisata di Loh Buaya Pulau Rinca yaitu, pembangunan yg dilakukan di zona pemanfaatan untuk memberikan jaminan keselamatan bagi manusia atas sifat bawaan predator satwa Komodo, justru dipahami merusak ekosistem disisi lain kebijakan cerrying capacity yg sesungguhnya bertujuan meselaraskan “jumlah dan kwalitas/ketersediaan lingkungan”.
Dilihat sebagai kerugian bagi aktivitas industri pariwisata, maka selama ini terlaksana di zona pemanfaatan wisata bahari daratan dan laut di kawasan konservasi.
Melihat hal itu,Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia yang cendrung membiarkan kapal-kapal wisatawan berlabu dimana saja, karam, lalu tenggelam hingga terbakar di kawasan konservasi tanpa ada tanggung jawab atas pencemaran dan kerusakan yg terjadi, pungkas Fery.*
Editor : penasatu.com