Teks foto: Pintu masuk Tol.BalSam Palaran.
Penasatu.com, Balikpapan – Menempuh perjalanan dari Balikpapan menuju Samarinda ataupun sebaliknya melalui Jalan Tol Balikpapan–Samarinda ( Balsam) sejatinya bisa memangkas waktu tempuh secara signifikan. Namun, di balik kemudahan itu, ada kesan sepi dan sangat kurang diminati masyarakat.
Tol Balsam, yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan sempat digagas sejak era Gubernur Awang Faroek Ishak, kini menjadi salah satu proyek strategis nasional yang membanggakan Kalimantan Timur. Sayangnya, keberadaannya belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Kalimantan Timur.

Saat penulis melintas dari Pintu Gerbang Tol Palaran hanya tampak beberapa kendaraan yang melaju, baik searah maupun dari arah sebaliknya. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: mengapa jalan tol yang mempersingkat jarak Balikpapan–Samarinda ini justru tampak sepi?
Sehingga penulis sedikit menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya.
Pertama, dari sisi harga dan kenyamanan.
Suasana sepanjang Tol Balsam terasa cukup panas dan gersang nyaris tak terlihat pohon peneduh di sisi kanan dan kiri jalan. Berbeda dengan jalur umum non-tol atau jalan Soekarno Hatta yang rimbun dan sejuk karena dipenuhi pepohonan di sepanjang perjalanan. Segingga nuansa hijau teduh alami itu justru membuat banyak pengendara lebih betah melintas di jalur lama, meskipun waktu tempuhnya lebih lama. Apalagi perbaikan jalan terus diupayakan oleh pemerintah.
Faktor biaya. Tarif Tol Balsam yang mencapai sekitar Rp140.000 apabila keluar di pintu Manggar , atau 120.500 bila keluar di Pintu Tol KM 13 saat sekali melintas bisa jadi dianggap terlalu mahal bagi sebagian pengguna, terutama pengemudi angkutan umum dan penguna kendaraan pribadi.
Dari salah satu pemilik kendaraan yang ditemui saat berada di rumah makan di kawasan Loajanan mengatakan bahwa menggunakan Tol akan menambah biaya.
“Mahal Mas, kami harus keluarkan biaya lebih kalo lewat Tol,” ucapnya.
Sementara seorang pengendara lainnya juga berucap senada, “Saya sehari hari membawa warga masyarakat yang akan bepergian ke Balikpapan, Samarinda ataupun Bontang hingga Sangata Kutai Timur. Dirinya mengungkapkan bahwa bila lewat Tol ada biaya tambahan yang lumayan besar.
“Pulang pergi bisa sampai Rp250 ribu, jalannya pun masih ada yang belum diaspal segingga akan berpengaruh dengan masa pakai ban mobil kami,” ungkapnya.
Memang benar sih apa yang diucapkan pengendara tersebut, saat kami melintas pada, Rabu (29/10/2025) dari total panjang Tol yang kurang lebih 90 kilo meter tersebut hanya sekitar 15-20 persen yang dilapis aspal, itupun masih bergelombang. Sisanya masih berupa cor dari semen.
Lanjutnya bahwa dengan biaya sebesar itu, kami bisa gunakan buat makan dan minum, atau ditabung untuk tambahan keuntungan,” imbuhnya.
Disini terlintas, kenapa pengelola tidak membuat program yang bisa diminati masyarakat Kaltim untuk menggunakan jalan tol. Misalnya dengan memberi potongan harga walaupun misalnya hanya saat akhir pekan saja. Karena dengan adanya penurunan biaya Tol bisa saja masyarakat akan memilih jalan tol bila akan berlibur ke kota lain. Misalnya warga Balikpapan akan ke Samarinda ataupun sebaliknya.disaat akhir pekan.
Kedua, atau memang mungkin karena masih disubsidi oleh pemerintah, sehingga pengelola tol dalam hal ini pihak Jasamarga tidak memiliki minat untuk membuat program promosi, baik memberi potongan harga atau lainnya agar masyarakat lebih tertarik memanfaatkan fasilitas yang dibangun dengan biaya besar ini.
Padahal, bila dilihat dari segi bisnis tentu merugi. Pasalnya biaya pembangunan yang begitu besar, tidak sebanding dengan pemasukan dikarenakan kurangnya minat masyarakat yang menggunakan jalan bebas hambatan tersebut. Sementara bila melihat ke daerah lain, misalnya di Pulau Jawa ,jalan Tol selalu dipadati kendaraan.
Tol Balsam memang menjadi simbol kemajuan infrastruktur Kalimantan Timur. Namun agar keberadaannya benar-benar memberi manfaat luas, perlu evaluasi terhadap aspek kenyamanan dan kebijakan tarif. Sebab, jalan yang sepi tidak hanya membuat perjalanan terasa menjemukan, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang efisiensi investasi publik yang telah dikeluarkan.(eds)

















