Oleh : Kurnia wati Susanti
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka Tanah Grogot
Penasatu.com, Grogot – Permintaan masyarakat akan gas terus mengalami peningkatan semenjak di lakukan program konversi bahan bakar minyak tanah ke gas.
LPG atau (Liquefied petroleum gas) atau disebut “elpiji” sudah menjadi ujung tombak dalam kegiatan bahan bakar rumah tangga ditengah ekonomi yang terus berkembang. Sosialisasi yang baik dari pemerintah akhirnya berjalan sesuai harapan. Lebih dari 70% penduduk Indonesia sudah memasak menggunakan elpiji dan terus mengalami peningkatan.
Gas elpiji 3 kg yang disubsidi oleh pemerintah ditujukan kepada masyarakat menengah kebawah.
Namun masyarakat kabupaten Paser resah karena harga LPG 3 kg mengalami kenaikan mencapai RP.25.000 sampai dengan Rp.30.000 sehingga tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang sudah disepakati di Kabupaten Paser.
Dalam pertemuan Dinas Perindustrian, perdagangan, koperasi dan UKM Kabupaten Paser besaran harga berkisar dari Rp.21.000 hingga Rp 27.000. Sementara itu untuk kelangkaan Gas Elpiji 3 kg juga dirasakan oleh masyarakat Paser. Tentu ini sangat berpengaruh buruk bagi masyarakat tidak mampu yang menggunakan gas elpiji 3 kg.
Pekan lalu masyarakat harus antri lama untuk mendapatkan LPG 3 kg, kemungkinan saja kelangkaan dan kenaikan harga LPG 3 Kg terjadi disebabkan oleh penyaluran LPG 3 kg yang tidak tepat sasaran. Memungkinkan banyak tersalur ke konsumen yang tidak berhak. Kemudian ada beberapa pangkalan gas yang tidak resmi sehingga menaikan harga gas elpiji semaunya.
Sementara itu untuk HET di Tanah Grogot , ialah sebesar Rp.22.500 pertabung, jika dijual dipasaran seharga Rp.25.000 pertabung, dan ketika gas elpiji 3 Kg langka maka harga angka jual akan mahal sekisaran Rp.28.000 sampai dengan Rp.35.000 karna disini kesempatan bagi pedagang kecil yang berjualan gas elpiji agar mendapatkan hasil jual tinggi.
Masalah yang menyangkut gas elpiji 3 kg dan yang seharusnya disediakan untuk konsumen yang tergolong masyarakat kurang mampu atau prasejahtera dan usaha ekonomi mikro kecil ternyata penggunanya banyak di konsumsi oleh mereka yang tergolong mampu atau mereka yang tidak berhak membeli. Aturan mengenai sasaran subsidi elpiji ini juga tertuang ke dalam pasal 20 ayat 2 peraturan menteri ESDM No 26 tahun 2009.
Di permen ESDM tersebut mengatur bahwa elpiji bersubsidi 3 kg diperuntukkan hanya penggunaan rumah tangga dan usaha mikro.
Dampak atau masalah demikian sudah barang tentu yang paling dirugikan adalah masyarakat miskin atau kurang mampu yang selayaknya sebagai pengguna sesuai aturan yang telah ditetapkan jadi terganggu, mengingat jatah gas elpiji 3 kg peruntukan mereka “diserobot” oleh orang lain.
Motif lain kelangkaan tabung gas elpiji ialah akibat diborong oleh pengusaha makanan. Bagi yang konsumsi dan penjualannya cukup tinggi. Namun kini pemerintah berusaha mengurangi maraknya penimbun elpiji.
Tiap pangkalan diwajibkan menjual tiap tabung kepada masyarakat dengan meminta lampiran KTP dan Kartu Keluarga. Itu untuk mencegah PNS membeli tabung 3 kg.
Nah untuk mengatasi persoalan dalam kelangkaan gas elpigi 3 kg yang berakibat harga menaik perlu pengawasan atau kontrol terhadap distribusi gas elpiji secara umum harus dilakukan. Demikian halnya khusus elpiji 3 kg (bersubsidi) sudah mendesak dilakukan.
Caranya yaitu pertama memeriksa dokumentasi aliran penjualan apakah sesuai peruntukan. Kedua, melakukan sidak terhadap semua pembeli atau konsumen sehingga dapat diketahui apakah elpiji 3 kg benar-benar bisa di nikmati rakyat miskin atau usaha ekonomi mikro kecil (sesuai data terkini).
Saran dan masukan yaitu perlu adanya regulasi yang mengatur mengenai batasan pembelian gas elpiji. Kemudian perlu dihadirkannya PT pertamina dan pimpinan pengusaha gas di wilayah kabupaten paser.*