Oleh : Silvester Joni
Manggarai Barat, penasatu.com – Tak ada pretensi untuk menjadikan tulisan ini sebagai referensi dalam membaca polemik di media sosial. Apa yang tersaji di sini, hanya sekadar sebuah perspektif yang terbatas tentang bagaimana seharusnya kita berdebat di facebook. Tilikan ini sangat terbuka untuk digunting oleh siapa saja dari dari latar belakang ilmu apa saja.
Media sosial dalam pelbagai kanal merupakan jagat tak berhingga dan tak bertuan. Siapa saja boleh ‘nimbrung’ dalam ruang itu untuk mempercakapkan isu apa saja. Tidak heran jika kita menemukan tulisan dari seorang remaja bersanding dengan artikel opini seorang profesor. Mereka yang mungkin baru belajar menulis akan dengan bebas menanggapi tulisan seorang profesor.
Garis demarkasi antara analisis seorang ‘pakar’ dengan anak sekolah menengah relatif kabur sebab semuanya ‘melayang’ secara sejajar dalam forum itu. Mengapa? Facebook bukan ‘domain eksklusif’ para ilmuwan dan akademisi untuk mempresentasikan kajian saintifik mereka. Kita jarang membaca sebuah telaah akademik dalam bidang hukum misalnya, yang mengikuti logika dan metodologi ilmiah yang ketat. Yang disodorkan dalam ruang itu adalah ‘fragmen opini lepas’ yang tentu saja sangat terbuka untuk diperdebatkan. Teori dan konsepsi ilmu tertentu dicomot secara eklektik untuk sekadar terlihat gagah.
Kendati demikian, perdebatan dalam ranah digital akan jauh lebih elegan dan berwibawa ketika kita tidak menegasikan semacam etika diskursus yang baik. Tidak salah juga jika kita menyadap ‘nafas keilmiahan’ dalam perbincangan tersebut. Dunia pemikiran akan berkembang jika dan hanya jika kita tidak terjebak dalam absolutisme atau dogmatisme yang akut. Mentalitas ilmiah sebetulnya ‘pemali’ untuk mengkultuskan pemikiran sendiri. Kita menyajikan pemikiran yang bersifat diskursif, bukan kumpulan dogma yang mesti diterima oleh siapa saja.
Perspektif seseorang entah diadaptasi dari doktrin keilmuan tertentu, tentu bersifat terbatas. Klaim bahwa ‘tafsiran kita lebih baik dari orang lain’ tentu saja bisa dibaca sebagai ekspresi arogansi intelektual.
Karena itu, dalam membangun perdebatan di ruang publik, kita perlu ‘menghargai perpektif’ partner debat. Bagaimanapun juga, persepsi individual itu mesti dikonfrontir dengan gagasan orang lain. Kebenaran yang kita sajikan tidak bersifat absolut, tetapi bersifat dialogis dan terbuka untuk diperdebatkan. Berdebat tentang Perkara Hasil Pemilihan dalam kontestasi Pilkada Mabar pada forum Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, kita tidak bisa ‘memaksa tafsiran keilmuan kita’ untuk dijadikan panduan dalam memastikan siapa penang dalam sengketa itu. Apalagi jika penafsiran kita lebih banyak dipengarui oleh ‘posisi politik’ dan selera preferensi individual, tentu kita tak punya basis yang cukup kuat untuk memonopoli kebenaran.
Selain itu, dalam bertengkar di media, semestinya kita tetap mengedapankan ‘rasionalitas’ yang jernih. Argumentasi yang dibangun mesti bisa dipertanggungjawabkan di hadapan nalar. Unsur emosi (perasaan) sedapat mungkin disisihkan.
Media massa dan media sosial (Medsos) dalam perspektif kajian sosial dan budaya merupakan salah satu instrumen public-space, ruang terselenggaranya aktivitas diskursif; pendekatan penalaran yang produktif dan berkualitas.
Isu-isu krusial yang bersentuhan langsung dengan ‘dimensi kebaikan publik’, diperbincangkan secara elegan dan rasional tanpa adanya represi, restriksi, intimidasi, dan manipulasi dari pribadi atau kelompok otoritatif tertentu yang berusaha menguasai ruang publik.
Secara ideal, ruang publik adalah arena diskursif, tempat di mana publik mempertimbangkan dan memperdebatkan berbagai kebijakan yang didesain dan dieksekusi oleh pemerintah. Oleh sebab itu, media sosial sebagai satu model ruang publik kontemporer itu bisa menjadi ‘penghubung antara ruang privat (keluarga) dan ruang otoritas publik (pemerintahan). Ruang itu menjadi medan ‘perumusan dan pengontruksian opini publik’ yang bisa mempengaruhi proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan politik.
Sebagai forum diskursus, maka dalam ruang itu, kita akan berhadapan dengan ‘pluralitas gagasan’. Setiap individu mempunyai posisi yang egaliter dalam mengungkapkan opini yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Perbedaan konsep, ide, minat, dan gaya berkomunikasi, menjadi panorama yang dominan ketika kita ‘berpartisipasi’ dalam sebuah forum diskusi di media sosial. Benturan pendapat itu kerap bersifat radikal dan ‘menghebohkan’ dan tentu saja menstimulasi sebuah ‘polemik’ berseri di berbagai platform media sosial seperti facebook, WhatsApp (WA), instagram, dan lain-lain.
Sebuah pertengkaran (polemik) dinilai bermutu jika masing-masing partisipan diskursus ‘memaksimalkan’ aspek rasionalitas dalam ‘mengupas’ isu tertentu. Sedapat mungkin, kita berdebat tentang ‘substansi opini’ dari rekan diskusi dan bukan terjebak pada arus sentimentalitas dan emosional yang cenderung ‘mengaburkan isi perdebatan’.
Dengan formulasi yang lebih simpel, kita mesti ‘berpolemik’ dengan otak, bukan dengan insting animalitas. Hindari argumentasi yang bersifat ‘menyerang karakter pribadi’ (argumentum ad personam) dan argumentasi yang mengkredit otoritas tertentu (argumentum ad autoritatem). Mengobok-obok wilayah privasi dan profesi orang, selain tidak etis dan produktif, juga mencerminkan kekerdilan berpikir dan kedangkalan referensi otak.
Umumnya ketika kapasitas kognitif seseorang tak sanggup meladeni substansi argumen orang, maka kita tergoda orang yang beragumen dan profesinya. Ini namanya sesat pikir jenis ad-hominem. Ini jurus andalan dari para politisi busuk atau provokator atau agitator massa. Menyerang argumen memang lebih beresiko, karena argumen bisa dibuktikan salah dan benar. Kalau benar, maka kita akan terbukti cerdas. Kalau salah, maka kita akan terbukti bodoh. Nah, peluang untuk terbukti bodoh itu sama besarnya dengan terbukti cerdas, serta akan semakin besar kalau kita tahu bahwa kita memang bodoh. Tak semua orang mau terbukti sebagai orang bodoh sehingga harus belajar lagi dengan sungguh-sungguh. Maka, sesat pikir ad-hominem pun menjadi solusi ilusifnya agar seolah terlihat cerdas.
Perdebatan yang ‘belopotan’ dengan unsur emosi, amarah, dan dengki, di satu sisi, dianggap sebagai ‘bumbu penyedap’ pertengkaran intelektual, tetapi ‘menghilangkan’ esensi debat pada sisi yang lain.
Saya menangkap kesan, polemik yang bergulir di grup facebook “Jurnal Mabar” seputar analisis prediktif sengketa hukum di MK, cenderung mengeksploitasi sisi emosional, ketimbang rasionalitas. Efeknya adalah publik pembaca ‘tidak menangkap substansi polemik’ seputar signifikansi dan urgensitas revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam panggung sosial-politik yang majemuk. Kita lebih condong ‘memamerkan tafsiran atau persepsi individual’ untuk dikonsumsi oleh publik pembaca, sementara pada sisi yang lain kita cenderung alergi dengan kritik.
Saya berpikir, sebagai warga komunitas ilmiah, kita coba memperlihatkan tradisi dialektika yang berbobot di ruang ini. Kita mesti fokus pada gagasan yang berpijak pada penalaran yang logis dan tidak melompat ke isu yang bersifat emosional-personal.
Berpolemiklah dengan akal sehat. Dengan itu, kita tetap menghargai ‘idealisme’ pembentukan grup ini sebagai wadah latihan menuangkan gagasan secara kreatif dan forum pertukaran ide yang berkualitas.