Erens Holivil
Penulis : Filmon Hasrin.
Penasatu.com, Manggarai Timur.NTT– Minggu, 8 November 2020, Joe Biden telah memenangkan Pemilu Amerika Serikat (AS). Ini setelah dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat itu dirinya mengalahkan petahana, Donald Trump. Bahkan Joe Biden telah mencetak sejarah karena bisa meraup Populer votes (suara populer) terbanyak dalam Pilpres Amerika Serikat kali ini.
Beragam tanggapan diberikan masyarakat Dunia atas kemenangan Joe Biden ini.
Salah satunya, Erens Holivil. anak muda Manggarai Barat, Mahasiswa Pasca Sarjana UGM, penggiat Ilmu Sosial Politik ini angkat bicara, dari kontestasi Pilpres AS baru-baru ini, barangkali sederetan pertanyaan kunci perlu diajukan: Mengapa Pilpres AS selalu menjadi sorotan dunia?
Mengapa hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia turun ambil bagian dalam politik AS? Dan sejauh mana pengaruh politik AS terhadap politik beberapa negara di dunia?
Dari deretan pertanyaan itu, dia memaparkan dua alasan substantif: Pertama, soal mempertahankan demokrasi. AS dalam sejarahnya menjadi contoh dan teladan demokrasi dunia. Sebagaimana yang kita kenal bahwa, demokrasi itu cenderung berkiblat ke AS sementara otoritarianisme berkiblat ke China.
Kedua, beralih dari yang pertama, politik AS berpengaruh terhadap politik di berbagai negara belahan dunia, karena itu menyangkut hubungan diplomasi antara negara terutama ekonomi.
Dua alasan itu yang menjadi alasan mengapa dunia begitu sensitif dengan politik AS.
Keterpilihan Joe Biden dan Kamala Haris sangat unik karena Biden menjadi Presiden tertua dalam sejarah Amerika, sementara Haris menjadi Wapres perempuan pertama dalam sejarah politik AS.
Kemenangannya membuka babak sejarah baru dalam kultur politik internasional, tidak hanya di Amerika sendiri, tetapi seluruh dunia pada umumnya termasuk Indonesia. Harus diakui, dari seluruh agenda dan narasi politik Biden-Haris menjadi teladan dalam roh demokrasi di Indonesia.
Teladan yang harus diikuti adalah bagaimana menghancurkan politik pecah-belah dan rasisme yang selama ini dipraktikkan di alam demokrasi ini.
Erens berpesan, “Jauhi Politik Identitas,”
katanya
Kalau dicermati dengan baik kontestasi Pilpres AS, ada yang berbeda dari gaya politik Biden dan rivalnya, Donald Trump. Donald Trump yang diusul oleh partai Republik, narasi “politik identitas” dijadikan sebagai strategi poltiknya. Dia membungkus politik identitas dengan mengglorifikasi bangsa Amerika dengan membangun narasi “Amerika Sentris.” Gaya politik seperti ini yang menghantar Trump jadi Presiden sebelumnya. Praktik politik Trump tidak jauh berbeda dengan fenomena politik apartheid di Amerika Latin.
Masyarakatnya dibagi dalam dua golongan: berkulit putih dan berkulit hitam. Mereka memilih pemimpin berdasarkan SARA.
Biden tidak menggunakan politik identitas, tetapi politik persatuan-politik yang mengayomi kebersamaan. Hal itu ditandai dengan pergerakan Biden yang mengangkat lagi isu-isu emansipasi perempuan di mana tidak ada lagi diskriminasi terhadap perempuan. Isu ini di luar agenda politik Trump.
Keterpilihan Biden menjadi teladan untuk kultur politik di Indonesia. Sebetulnya tidak hanya pada level Pilpres tetapi Pilkada dan Pileg.
Lanjut Erens, untuk itu masyarakat harus melihat dari teknokratis, program kerja, dan integritas moral. Jualan politik identitas adalah strategi unggulan setelah gagal menjual kecerdasan dan kecakapan intelektual. Politik identitas bukan rujukan demokrasi kita.*