Teks foto: Ferry Posuma (baju putih) dan Ibu Ketty Kwee bersama kuasa hukum saat konferensi pers di sebuah kafe di Jalan MT Haryono, Balikpapan Selatan
Penasatu.com, Balikpapan — Sebuah konflik keluarga yang telah berlarut-larut selama puluhan tahun kembali mencuat ke permukaan. Ferry Posuma, anak pertama dari pasangan Eddie Posuma dan Ketty Kwee, akhirnya muncul untuk memberikan klarifikasi langsung kepada awak media, menyusul pemberitaan yang menyudutkan dirinya sebagai “anak tidak berbakti” karena menggugat ayah kandungnya sendiri di pengadilan.
Dalam konferensi pers yang digelar di sebuah kafe di Jalan MT Haryono, Balikpapan Selatan, Rabu (19/11/2025) pukul 10.15 WITA, Ferry didampingi ibunya dan enam kuasa hukumnya, yakni Joko Ponconowo, SH, M.H, Nor Rony Hidayat, SH, M.H, Everton Jeffry Hutabarat, SH, Sukartono, SH, M.H, Dr.Tantra Lingga Weinardi Ngoei, SE, SH, M.Th, dan Khairul Anam, SH, S.Tr, Par, Advokat dari kantor hukum “Joe & Hutabarat” di Balikpapan, Kalimantan Timur. Suasana pertemuan berlangsung intens. Emosi tak terbendung ketika Ferry menuturkan akar persoalan yang telah menggerus hubungan keluarganya selama puluhan tahun.
Konflik bermula dari sebuah kawasan perumahan mewah KBC III yang dibeli oleh Ketty Kwee pada tahun 1963. Kawasan itu terdiri dari 19 unit rumah dan 14 apartemen. Karena Ketty masih berstatus WNA, ia tidak dapat memiliki dokumen properti secara legal. Sertifikat akhirnya dipasang atas nama suaminya kala itu, Eddie Posuma, yang adalah WNI.
Pada masa-masa awal, keluarga ini masih utuh. Namun hubungan rumah tangga keduanya mulai keruh dan akhirnya kandas pada tahun 1988. Kendati telah bercerai, pada tanggal 19 April 1990 keduanya sepakat menghibahkan properti KBC III kepada keempat anak mereka. Hibah ini menjadi dasar kepemilikan Ferry dan ketiga adiknya.
Ferry mengungkapkan bahwa keputusan hibah tersebut ia anggap sebagai bentuk tanggung jawab orang tua kepada anak-anaknya. Namun, menurutnya, realitas justru jauh dari harapan.
Masalah mulai mencuat ketika Ferry mengetahui bahwa setelah hibah dilakukan, ayahnya ternyata mengajukan permohonan penetapan penanggungan terhadap keempat anaknya ke Pengadilan Negeri Surabaya. Permohonan itu membuat Eddie mendapatkan kewenangan penuh untuk mengelola kawasan KBC III, termasuk menyewakannya kepada pihak ketiga.
Salah satu penyewa terbesar saat itu adalah perusahaan internasional PT Schlumberger. Pada 1997, dugaan Ferry, kuasa pengelolaan bahkan dialihkan kepada Firma Setia Kawan (FSK), perusahaan yang dipimpin Eddie sendiri.
“Semua dilakukan tanpa persetujuan kami sebagai ahli waris sah dari hibah,” ujar Ferry dengan suara bergetar menahan emosi.
Ia juga menambahkan bahwa ia sama sekali tidak pernah diberi informasi, laporan, atau bagian dari hasil sewa properti tersebut selama puluhan tahun.
Menurut keterangan Ferry, ia dan sang ibu baru mengetahui bahwa kawasan KBC III telah disewakan selama bertahun-tahun ketika salah satu adiknya sakit menjelang meninggal dunia pada 2014. Pada momen itulah informasi bahwa KBC III terus-menerus menghasilkan uang sewa mulai terbuka.
Ferry mengaku telah mencoba bertanya secara baik-baik kepada Eddie dan pihak penyewa, tetapi tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Upaya damai pun dilakukan pada tahun 2020, namun berakhir buntu.
Yang membuat Ferry merasa paling dikhianati adalah ketika ia mengetahui bahwa ketiga adiknya selama ini menerima hasil sewa, sementara ia dan ibunya tidak mendapatkan hak mereka.
“Bayangkan bagaimana rasanya. Anak sulung, dan ibu saya yang membangun semuanya dari dulu, tapi justru saya dan ibu saya tidak mendapat apa pun,” ujarnya.
Merasa diabaikan dan dirugikan, Ferry Posuma menggugat Eddie Posuma dan PT Schlumberger pada 2020 atas dugaan perbuatan melawan hukum melalui Pengadilan Negeri Balikpapan dengan nomor perkara 144/Pdt.G/2020/PN Bpn. Perkara tersebut berlanjut hingga Pengadilan Tinggi Samarinda (228/PDT/2021/PT SMR), tingkat kasasi (2716 K/Pdt/2023).
Hasil akhirnya memberikan kemenangan kepada Ferry. Putusan PK Nomor 1024 PK/Pdt/2024 menyatakan bahwa Eddie Posuma dan pihak terkait wajib membayar hak Ferry secara tanggung renteng. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Alih-alih melaksanakan putusan, Eddie Posuma justru mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Balikpapan pada 2025 dengan nomor perkara 118/Pdt.G/2025/PN Bpn. Kuasa hukum Ferry menduga langkah itu merupakan strategi untuk mengaburkan putusan sebelumnya yang sudah inkracht.
“Jelas ini upaya untuk mengulur-ulur waktu dan menghindari kewajiban hukum,” ujar Joko Ponconowo, salah satu kuasa hukum Ferry.
Ferry dan kuasa hukumnya juga menyesalkan pemberitaan di salah satu media yang menyebut Ferry sebagai anak durhaka. Menurut mereka, pemberitaan tersebut tidak berimbang dan berpotensi merusak nama baik Ferry.
“Kami meminta klarifikasi terbuka. Klien kami memperjuangkan hak yang sah secara hukum, bukan melawan orang tua tanpa alasan,” tegas Joko.
Dalam konferensi pers tersebut, sorotan mata para wartawan tak lepas dari sosok Ketty Kwee. Wanita lanjut usia itu tampak berulang kali meneteskan air mata, sesekali meluapkan kemarahan terhadap Eddie Posuma.
Beberapa kali ia bahkan meneriakkan kata-kata bernada kecewa dan sakit hati, menyatakan bahwa apa yang terjadi telah melukai dirinya sebagai seorang ibu dan mantan istri.
“Dia (Eddie) tahu semuanya milik saya. Tapi kenapa begini jadinya?” serunya sambil terisak.
Momen itu menggambarkan betapa rentannya hubungan keluarga ini dan betapa dalamnya luka yang tersisa.
Meski konflik berlangsung keras di ranah hukum, Ferry dan tim hukumnya menyatakan bahwa pintu perdamaian tidak tertutup sepenuhnya. Mereka tetap berharap bahwa semua pihak bisa duduk bersama dan mematuhi putusan hukum yang sudah berkekuatan tetap.
“Kami tidak ingin memperpanjang permusuhan. Kami hanya ingin hak dipenuhi dan proses hukum dihormati,” ujar kuasa hukum Ferry.
Bagi Ferry Posuma, perjuangan ini bukan semata-mata soal materi, tetapi soal keadilan yang menurutnya telah direnggut selama puluhan tahun.(*)
















