Yohanis Fransiskus Lema, anggota Komisi IV DPR Ri
Penasatu.com-Manggarai Barat.NTT– Regulasi yang saat ini memberikan landasan pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 64 Tahun 1958 sudah tidak lagi relevan. NTT harus memiliki UU yang sesuai dengan identitas, ciri dan karakteristik NTT dan mengarah pada pengentasan kemiskinan, serta memerjuangkan kesejahteraan–keadilan masyarakat.
Hal ini diungkapkan anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema. Menurutnya, UU Nomor 64 Tahun 1958 harus diganti.
“Saya menyambut baik rencana RUU Provinsi NTT. NTT harus memiliki UU tersendiri yang berisikan arah pembangunan ke depan, berdasarkan pada ciri, identitas atau karakteristik lokal NTT,” ujar Ansy pada Jumat kemarin (6/11) dalam Focused Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Badan Keahlian DPR RI, dalam rangka mencari masukan penyiapan konsep awal naskah akademik dan draf RUU tentang Provinsi NTT.
Ansy menjelaskan, realitas NTT adalah provinsi kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 1.192 dan didominasi oleh pertanian lahan kering serta merupakan beranda depan negeri karena bwrbatasan dengan negara tetangga Timor Leste dan Australia.
Realitas lainnya, sekaligus yang mendasar adalah NTT memiliki wajah kemiskinan. Berdasarkan data BPS Maret 2020, persentase kemiskinan NTT sebesr 20,90%, jauh berada di atas persentase kemiskinan nasional yang tercatat 9,78%. NTT menduduki provinsi termiskin ketiga di Indonesia dan hanya lebih baik dari Papua dan Papua Barat.
Lebih lanjut, Anggota Dewan dari Dapil NTT II ini menjabarkan, ekonomi NTT ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Melihat data BPS 2019, distribusi terbesar ekonomi NTT ada pada sektor ini, yakni sebesar 28,00%.
Ketika dibedah secara detil, tiga sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan NTT sebesar 28,00% tersebut adalah peternakan (33,79%), tanaman pangan (29,09%), dan perikanan (19,07%).
“Artinya, slogan Nelayan, Tani, Ternak (NTT) yang selama ini saya serukan harus menjadi arah pembangunan ke depan, karena sesuai dengan karakteristik/ciri perekonomian NTT. Kemiskinan yang terjadi di NTT adalah kemiskinan para nelayan, petani, dan peternak,” pungkas Ansy.
Di sisi lain, dari sisi pertanian, lanjut Ansy, yang harus dikembangkan adalah pertanian lahan kering. Pasalnya, total luas lahan kering NTT mencapai 1,331 juta hektar. NTT harus mengembangkan tanaman pangan lokal dan tanaman perkebunan serta hortikultura unggulan seperti jagung, sorgum, ubi kayu nuabosi, kopi, jeruk keprok soe, apel soe, dan sebagainya.
Dari sisi peternakan, NTT harus mengembangkan peternakan babi. Melirik data BPS 2019, NTT adalah provinsi dengan jumlah populasi babi terbesar di Indonesia (27,26%) yaitu 2,4 juta ekor dari total populasi babi nasional yang berjumlah 8.922.654 ekor.
Sementara itu, dari sisi perikanan, NTT perlu mengembangkan ikan, rumput laut, dan garam.
Tidak hanya perihal tiga sektor itu saja, tetapi sektor pariwisata dan ekonomi wilayah perbatasan juga harus dikembangkan.
“Saya menyampaikan perlunya pembangunan pariwisata berbasis komunitas dan potensi lokal. Berdayakan komunitas petani/nelayan/peternak NTT untuk bisa memenuhi kebutuhan pariwisata NTT,” imbuh Ansy.
Ansy menaruh harapan besar pada RUU ini untuk bisa mengeluarkan NTT dari jerat kemiskinan. Karena itu, substansi materi yang harus menjadi payung besar adalah perlindungan, sekaligus peningkatan kesejahteraan nelayan, petani, dan peternak untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan.