Menelusuri Peradaban Dunia di Turki (15) Menziarahi Makam Al-Fatihah, Mengenang Kisah Heroiknya

0
2601

Foto. Saat berada di makam Sultan Muhammad Al-Fatih

Oleh : Andy Ar Evrai

PENASATU.COM, ISTANBUL– Sultan Muhammad Al-Fatihah…itulah yang selalu menjadi memori bagi saya setiap kali membaca sejarah tentang Turki dan sejarah tentang hari-hari terakhir Konstantinopel dari berbagai sumber tulisan,.Saya pun selalu berharap suatu saat bisa membuktikan secara nyata bahwa tokoh sejarah ini memang nyata dan ada makamnya.

Maka sejak mendarat di Istanbul, saya pun sudah berketetapan hati, bagaimana pun kondisinya, saya harus bisa berziarah ke makam pemimpin besar ini.
Untung saja tempat saya menginap berada di kawasan kota tua Konstantinopel dan sangat dekat dengan makam Sultan Al-Fatih dan masjid Al-Fatih.
“Dari sini lurus saja berjalan kaki sekitar 10 menit akan sampai di makam Al-Fatih,” kata Ahmad warga Turki yang sempat saya temui.
Dengan menggunakan jaket, syal dan topi turki untuk menahan udara dingin, maka saya pun berjalan kaki menuju kawasan Al-Fatihah.
Begitu sampai di kawasan masjid Al-Fatih yang begitu megahnya, saya pun mencari makam Sultan Al-Fatihah.

Berada di sebuah bangunan yang bersih dan kuat, makam Al-Fatih di kelilingi pagar kaca, puluhan peziarah hanya bisa duduk dan berdiri di sekitar makam yang panjangnya sekitar 2 meter. Aura dan charisma sang Sultan sangat terasa saat berada di makamnya.
Saya pun tidak bisa menyembunyikan emosi yang mengharu, dengan penuh kekhusukkan saya pun berdoa supaya sang Sultan diberikan yang terbaik dari Allah SWT.
Masih dalam bangunan makam, saya pun melamunkan tentang sejarah yang pernah saya baca tentang riwayat dan perjuangan Sultan Al-Fatih yang diusia mudanya telah menjadi seorang pemimpin besar.
Khayalan saya pun mengingatkan dan membayangkan ketika Al-Fatih mengirimkan surat kepada Sultan Murad II ayahnya yang berbunyi :
“Apabila engkau seorang sultan, kemarilah dan pimpin pasukanmu. Namun, apabila engkau mengakui aku sebagai sultan, maka aku memerintahkanmu sekarang juga untuk datang dan memimpin pasukanku.”

Kalimat tersebut ditulis oleh Sultan Muhammad II dalam surat yang ditujukan kepada ayahnya. Ketika itu Sultan masih berusia 12 tahun, dan dia harus mendapati dirinya terdesak dalam sebuah peperangan melawan pasukan musuh di Varna-Bulgaria.
Sementara ayahnya, Murad II telah memutuskan untuk mengasingkan diri dari berbagai urusan duniawi, hanya menyibukkan dirinya ber-taqarrub kepada Allah SWT. Murad II selalu menolak setiap anaknya meminta bantuan, namun kali ini dia tak dapat mengelak, kalimat di atas tak mempunyai jalan keluar selain kembali turun gunung membantu anaknya memenangkan peperangan.
Itulah salah satu potret kecerdasan Muhammad II yang juga dikenal sebagai Muhammad Al Fatih. Melihat perjalanan sejarah Khilafah Ustmaniyah, rasanya tidak berlebihan menyebut dia sebagai titik tolak kemajuan Khilafah Ustmaniyah. Dia telah membawa Khilafah Ustmaniyah dari fase “begitu-begitu saja” menuju fase perkembangan dan kemajuan yang bisa jadi tak pernah diimpikan oleh seorang Usman Gazi pendiri khilafah tersebut.
Salah satu titik tolak tersebut adalah penaklukan Konstantinopel. Konstantinopel bukanlah wilayah biasa-biasa saja, yang sekedar menambah luas wilayah kekuasaan ketika ditaklukan. Banyak hal yang membuat penaklukan Konstantinopel terasa istimewa.

Pada masa tersebut, konstantinopel dianggap sebagai kota terbesar, terkaya, dan terindah. Semua dikarenakan posisi strategisnya yang berada di jalur utama perdagangan antara laut Aegean dan laut Hitam. Posisi yang strategis serta keindahan yang dimiliki oleh Konstantinopel digambarkan oleh Napoleon Bonaparte dalam sebuah kalimat yang agak berlebihan, “kalaulah dunia ini sebuah negara maka Konstantinopel lah yang paling layak menjadi ibu kota negara.”
Selain itu, dalam tatanan dunia lama ketika hegemoni kekuasaan masih menjadi milik kekaisaran serta kerajaan, menguasai Konstantinopel yang notabene ibu kota kekaisaran Byzantium bisa berarti mempertegas hegemoni kekuasaan khilafah Ustmaniyah di mata dunia. Penaklukan Byzantium akan membuat kekaisaran manapun berpikir berulang kali jika ingin berkonfrontasi dengan khilafah Ustmaniyah.
Sultan Mehmed (Muhammad) II menjadi jawaban dari bisyarah Rasulullah yang tertera pada hadistnya. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad bin Hanval Al Musnad).

Hadist ini yang mendorong Sultan Mehmed II berusaha keras menaklukkan Konstantinopel. Berbagai metode dan strategi dilakukan meskipun tak jarang menemui kegagalan. Pada 20 Jumadil Awal 857 H bertepatan dengan 29 Mei 1453 M, Al Fatih beserta bala tentaranya berhasil menaklukkan Konstantinopel.
Dimulai dari shahabat Abu Ayyub Al Anshari RA, kemudian khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari kekhalifahan Umayyah, khalifah Harun Ar Rasyid dari kekhalifahan Abbasiyah, Sultan Bayazid I serta Sultan Murad II dari kekhalifahan Ustmaniyah telah melakukan ikhtiar yang maksimal untuk menaklukkan konstantinopel, meskipun Allah belum mengizinkan kemenangan untuk mereka.
Maka dari itu, Al Fatih pun menyadari bahwa untuk memperoleh kemenangan istimewa diperlukan persiapan yang istimewa juga. Al Fatih menyadari bahwa “sehebat-hebat pemimpin” serta “sekuat-kuat pasukan” bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan.

Maka dimulailah pembentukan Janissaries, sekelompok pasukan elit yang dididik sejak dini dan khusus dipersiapkan untuk penaklukan konstantinopel. Pasukan ini tak hanya digembleng pada aspek fisik dan taktik namun juga mendapatkan pendidikan agama yang mumpuni. Pada akhirnya, terkumpullah 40.000 pasukan elit yang senantiasa mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, dan yang terpenting mereka memahami mengapa harus menaklukkan Konstantinopel.
Selanjutnya, Sultan Muhammad Al Fatih membangun sebuah benteng di pinggir selat Bosphorus. Benteng tersebut dikenal dengan nama Rumli Haisar, tingginya 82 meter dan dilengkapi 7 menara citadel. Dengan pembangunan benteng tersebut, urat nadi Konstantinopel menjadi terputus, karena selat Bosphorus sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ke Konstantinopel menjadi di bawah kendali Al Fatih.
Namun masalah utamanya adalah benteng Theodosius, benteng ini memiliki tinggi 30 meter dan ketebalan 30 meter pula. Seribu tahun lebih benteng tersebut kokoh berdiri dan belum terkalahkan. Dan selama benteng tersebut belum mampu ditembus maka selama itu pula kekaisaran Byzantium berkuasa.
Kehebatan dan kekuatan benteng Theodosius ternyata melenakan penguasa Byzantium. Ketika Orban seorang ahli senjata asal Hungaria menawarkan model senjata baru temuannya kepada mereka. Mereka malah menyatakan tak berminat dan merasa puas dengan kekuatan benteng Theodosius.
Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Al Fatih, dia pun segera membeli teknologi Orban. Akhirnya pada tahun 1452, Orban berhasil menyelesaikan sebuah senjata terbesar di masa itu. Sebuah meriam raksasa dengan panjang 8,2 meter, diameter 760 centimeter, mampu melontarkan bola besi seberat 680 kg sejauh 1,6 kilometer. Meriam ini dikenal dengan nama “The Muhammed’s Greats Gun”.

Setelah semua persiapan selesai, barulah dimulai penyerangan terhadap Konstantinopel. Total 250.000 pasukan menuju Konstantinopel, sebagian menyerang melalui darat, sebagian menumpangi 400 kapal perang untuk menyerang melalui laut.
Banyak kejadian-kejadian menarik yang terjadi selama penyerangan ini. Dimulai dari meriam buatan Orban yang ternyata benar-benar mampu membuat kerusakan yang signifikan terhadap benteng, namun ternyata hanya bisa ditembakkan tiga jam sekali. Yang tentunya memberi banyak waktu kepada prajurit Konstantin untuk memperbaiki kerusakan.
Lalu 400 kapal perang yang tidak mampu berbuat banyak karena Teluk Tanduk Emas yang merupakan bagian terlemah Konstantinopel ternyata dilindungi oleh rantai raksasa yang tak mampu dihancurkan oleh pasukan laut Al Fatih.
Situasi ini sempat menyisipkan rasa frustasi di barisan tentara Al Fatih. Namun Al Fatih tak kehilangan akal, dia segera menyadari bahwa kehebatan meriam Orban bukanlah penentu kemenangan perang ini. Penentu kemenangan adalah Teluk Tanduk Emas yang dilindungi rantai raksasa, maka harus dipikirkan cara yang tepat untuk menaklukkan rantai tersebut.
Dia sukses memasuki wilayah Konstantinopel dengan membawa serta kapal-kapal mereka melalui perbukitan Galata, untuk memasuki titik terlemah Konstantinopel, yaitu Selat Golden Horn. Ketika itu, Sultan Mehmed II beserta ribuan tentaranya menarik kapal-kapal mereka melalui darat.

Meski ada tentaranya mengatakan kemustahilan untuk melakukan strategi tersebut. Namun, Mehmed II tidak gentar. Dia dengan tegas mengatakan kepada seluruh tentaranya untuk bergegas dan melaksanakan strategi tersebut.
Tujuh puluh kapal diseberangkan melalui bukit hanya dalam satu malam, saking hebatnya Sastrawan Yoilmaz Oztuna berkata, “Tidaklah kami pernah melihat atau mendengar hal ajaib seperti ini, Mehmed telah menukar darat menjadi lautan dan melayarkan kapalnya di puncak gunung. Bahkan usahanya ini mengungguli apa yang pernah diilakukan oleh Alexander The Great.”

Namun apa sesungguhnya yang luar biasa di balik sukses Mehmed II?

Sehari sebelum berjalannya strategi itu, ia memerintahkan semua tentaranya untuk berpuasa pada siang hari dan shalat Tahajud pada malam harinya sebelum berperang untuk meminta kemenangan kepada Allah. Alhasil, Mehmed II berhasil membawa kemenangan dengan menaklukkan Konstantinopel dan memimpinnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ia melindungi seluruh rakyat di sana, baik Muslim maupun non-Muslim.

Setelah kemenangan itu, dalam usia 21 tahun Mehmed II kemudian diberi gelar Sultan Muhammad Al Fatih, sang penakluk konstantinopel yang mewujudkan janji Rasulullah. Mehmed II memang terkenal sebagai sultan yang saleh. Semasa hidupnya, dia tidak pernah meninggalkan shalat fardu, shalat sunah, shalat Tahajud, dan berpuasa. Sejak ia berusia delapan tahun, ia telah menghafal Alquran dan menguasai tujuh bahasa berbeda, yaitu Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Parsi, dan Ibrani.

Setelah ia memimpin Konstantinopel selama 19 tahun, dia berencana menaklukkan Roma. Hanya, saat ingin melaksanakan cita-citanya, Al Fatih wafat. Dia menghadap Ilahi pada 3 Mei 1481 karena sakit sewaktu dalam perjalanan jihad menuju pusat Imperium Romawi Barat di Roma, Italia. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.

Lalu mengapa Mehmed II mampu menjadi “sebaik-baik pemimpin dan memiliki sebaik-baik pasukan?”

Rasulullah bersabda, “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanya lah yang menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani & majusi (penyembah api). (HR. Muslim No.4807)
Sabda Rasul di atas menjelaskan bagaimana berpengaruhnya orangtua terhadap masa depan anaknya. Kita bisa belajar dari Sultan Murad yang punya peran besar dalam membentuk Muhammad Al-Fatih yang kelak menjadi penakluk kota Konstantinopel.
Apa saja yang dilakukan Sultan Murad II ayahanda Mehmed II??

  1. Bersahabat dengan Anak
    Sultan Murad pada anaknya sangat bersahabat. Aktivitas setelah bangun tidur yang dilakukan Sultan adalah mengajak anaknya Shalat Subuh lalu menikmati fajar sembari bercengkrama dengan suasana yang menyenangkan. Di setiap mereka berjalan menikmati udara fajar, tangan Sultan tak lepas dari menggenggam tangan Mehmed.

Sultan Murad tidak sedang memanjakan Mehmed. Sultan hanya ingin Mehmed merasakan ayahnya selalu ada untuknya hingga Mehmed tidak sungkan untuk bercerita. Mehmed tak perlu mengadu pada yang lain, Ayahnya sudah lebih dari segalanya.
Andai Mehmed hidup di masa kini, Mehmed tak akan mengadu pada Facebook. Sangat disayangkan saat ini banyak anak-anak yang lebih dekat dengan gawai dibandingkan dekat dengan orang tuanya.
Kita bisa belajar dari Sultan Murad bagaimana bersahabat dengan anak-anak kita. Karena jika orang tua hanya sibuk dengan pekerjaannya, jangan salahkan jika di luar rumah anak-anak akan mencari pelarian dengan alasan untuk diperhatikan orang lain. Jadilah mereka berperilaku buruk, kerjanya berantem, ngomong kotor, bolos sekolah, dan lain-lain.

  1. Motivasi dengan Ucapan yang Baik
    Sedih jika mendengar ada orang tua yang membentak anaknya dengan ucapan-ucapan kasar hingga sang anak tak percaya dengan dirinya sendiri. Sang anak merasa lemah dan tak punya kemampuan apa-apa.
    Saat anak terjatuh, ibunda langsung berucap, ”Duh, dasar anak bodoh. Sudah dibilangin diam-diam aja, gak bisa banget diam.”
    Saat anak sudah bisa berjalan dan pandai berbicara biasanya anak ingin melakukan hal-hal yang baru, misalnya memanjat pohon, biasanya orangtua akan melarang dengan alasan takut anaknya jatuh lalu keluarlah kalimat, “Udah, kamu gak akan bisa manjat pohon itu. Jangan macem-macem nanti kamu jatuh.”
    Tahukah jika orang tua seperti itu, maka yang terjadi sang anak akan merasa bahwa dirinya memang tidak bisa, merasa dirinya memang bodoh. Makanya banyak anak yang tidak mandiri.

Belajarlah dari Sultan Murad, Ayah yang sukses melahirkan “sebaik-baik pemimpin”. Sultan Murad setiap hari selalu memberikan motivasi dengan kalimat yang baik bahkan mungkin bagi orang lain adalah gila. Tapi keyakinan dan kepercayaan Sultan pada anaknya membuat anaknya semakin berani dan percaya diri.

Setiap hari Sultan mengajak anaknya duduk di puncak menara masjid yang tertinggi, lalu Sultan menunjuk tangannya jauh di sebuah cakrawala. Apa yang disampaikan Sultan? Sultan menyampaikan motivasi, visi pada seorang anak yang masih sangat kecil.
“Mehmed, lihatlah! Di depan, jauh di depan sana, di sanalah Konstantinopel. Kota itu adalah salah satu pusat dari peradaban tua dunia. Ibu kota Romawi Timur yang sangat kuat. Kota itu akan jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Dan engkaulah, Insyaallah, yang akan menaklukkannya kelak.”

Setiap hari dimotivasi dengan kalimat-kalimat yang baik, membuat Mehmed sangat percaya diri dan membuatnya semangat belajar.

  1. Berikan Guru Terbaik
    Sultan Murad punya mimpi untuk menaklukkan Konstantinopel dan mimpinya itu diwariskan pada anaknya Mehmed II. Maka Sultan harus memberikan yang terbaik pada anaknya termasuk dalam pendidikan.
    Sejak kecil Mehmed telah diajari oleh seorang Ulama besar yang nasabnya tersambung sampai pada sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, Syaikh Aaq Syamsuddin namanya. Syaikh Aaq Syamsuddin punya peran besar dalam menjadikan Mehmed sebagai pemimpin dunia. Ilmu dan nasehat menjadi semacam makanan pokok tak tergantikan. Hingga jadilah Mehmed II sebagai sebaik-baik pemimpin yang pernah disabdakan Rasul.
    Mengingat kembali tentang sejarah Sultan Al-Fatih dari berbagi sumber tulisan, membuat saya semakin merinding dan bergetar saat berada dekat di makam pemimpin besar ini. Saya hanya bisa berdoa dan membacakan ayat suci untuk kebaikannya.
    “Semoga Allah SWT memaafkan kesalahannya dan memberikan rahmatnya kepada Sultan Al-Fatih,” itulah doa penutup yang saya bacakan disamping pemimpin besar ini.
    Selanjutnya saya pun meninggalkan bangunan makam untuk menuju masjid Al-Fatih guna menunaikan shalat wajib.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here